Home > Heaven's Unlimited > Bertanya Kepada Ahlinya

Bertanya Kepada Ahlinya

Bila aku bertanya tentang pupuk organik kepada seorang tukang becak, maka dia hanya mampu menjawab sejauh yang ia tahu saja. Bila aku bertanya lebih detil tentang pupuk organik kepada tukang becak tersebut, maka dia akan geleng-geleng kepala pertanda ia tidak tahu menahu perihal apa yang sedang aku tanyakan. Artinya, segala sesuatu di dunia ini ada ahlinya. Contohnya, tukang besi ahli dalam melebur besi, tukang becak ahli dalam mengayuh becak dan dia hapal rute jalan, seorang petani ahli dalam praktek bertani, dan masih banyak contoh-contoh lainnya. Tapi seorang ahli tentu harus punya bukti authentic, bukti tertulis yang menyatakan secara sah bahwa dia adalah seorang ahli dalam suatu bidang supaya orang-orang percaya dan mudah meyakini eksistensi ahli tersebut.

Bila seorang ahli harus memiliki bukti tertulis, bagaimana pula dengan profesi tukang becak, tukang sayur, dan tukang pandai besi? kasihan juga dengan kenyataan itu. Untuk hal yang satu ini lebih baik tidak usah dibahas saja sebab permasalahannya perlu dipandang secara komprehensif oleh semua pihak terkait; pemerintah dan akademisi misalnya. Sampai saat ini bahkan belum aku temui sertifikat profesi tukang becak dan tukang sayur keliling.

Satu hal yang perlu kita sadari, setiap individu tentu berpotensi untuk menjadi seorang ahli karena individu-individu tersebut dianugrahkan otak untuk berpikir dan berbuat. Baiklah, aku akan memakai kata “orang” agar mudah dipahami. Orang-orang berpotensi, ada yang sadar dan ada yang tidak. Sebaliknya, banyak orang yang tidak memiliki potensi di salah satu bidang dan ada di antara mereka sadar akan hal itu dan ada yang tidak sadar. Tidak sadar, maksudnya orang itu memaksakan diri untuk mejadi ahli dalam suatu bidang padahal ia tidak memiliki potensi untuk menguasai bidang tersebut. Ini yang jadi penyakit hati dalam sebagian individu. Aku balik menggunakan kata “individu” karena hanya kata itu lah diksi yang tepat menurutku. Tentu saja aku sebut ini penyakit hati, sebab pengakuan “ahli” atas diri yang tidak dapat dibuktikan kepada orang lain dan memaksakan kehendak bahwa dia memang “seorang ahli” padahal bukan (karena tidak ada bukti authentic), adalah kemunafikan. Bohong, bahasa kasarnya.

Ini penting, saudara-saudaraku. Sebab, di zaman sekarang ini, zaman di mana kemerdekaan sudah di tangan, hampir semua orang memiliki ilmu pengetahuan dan keyakinan. Ilmu pengetahuan di bidang apa pun, itu yang aku maksud. Apa pun, bahkan dalam hal mencuri. Artinya, di zaman sekarang ini setiap orang tidak lagi dijajah akal pikirannya. Setiap orang di zaman sekarang ini sudah mampu berpikir dua-tiga kali sebelum melakukan sesuatu akibat dari perbaikan gizi dan tempaan zaman. Setiap orang bahkan sudah mampu mencerna, menyaring informasi yang buruk atau baik, makanya sekarang kita tidak bisa semena-mena memperbudak orang lain. Memperbudak di sini, maksudnya, memperbudak secara fisik dan mental. Ada kata lain yang lebih mudah dipahami, yaitu pembodohan secara fisik dan mental. Bagaimanapun, bila ada orang yang ngotot, keukeuh, memaksakan kehendaknya, pengetahuannya, keyakinannya, kepercayaannya kepada orang lain untuk diterima mentah-mentah, itu adalah perbudakan mental. Tidak ada hukum yang melarangnya, tentu saja. Hanya kesadaran dan kecakapan diri tiap-tiap individu yang dibutuhkan untuk melawan pembodohan itu.

Haruskah dilawan? bagaimana bila seorang mahasiswa dibodohi, dikadalin bahasa gaulnya, oleh dosen? Aku yakin banyak peristiwa antara dosen dan mahasiswa yang terjadi sekarang ini. Peristiwa pembodohan mahasiswa yang aku maksud. Contoh kasus, seorang dosen ahli di bidang Ilmu Pengetahuan Alam menggurui mahasiswanya tentang Ejaan Yang Dibenarkan (EYD). Sah-sah saja bila menggurui dalam konteks mengajar dalam kelas, atau bagian dari kurikulum. Sudah sepatutnya seorang mahasiswa mendengarkan apa yang diajarkan dosen tersebut di dalam kelas. Bahkan diskusi pun diperbolehkan. Di dalam kelas, etika seorang murid terhadap gurunya harus dijunjung tinggi. Tapi bila konteksnya di luar kelas, lain cerita. Apa sebab? seperti yang sudah aku jelaskan di atas, sudah bukan zamannya lagi pembodohan, perbudakan terjadi. Mahasiswa mampu berpikir dua-tiga kali, bahkan lebih. Mahasiswa mampu mencari referensi-referensi untuk mendukung apa yang telah ia yakini begitu pula sang dosen. Permasalahannya adalah referensi mana yang paling absah? referensi dari sang dosen atau si mahasiswa? Sekarang mari kita bertanya kepada ahlinya. Bukan memperdebatkan EYD versi sang dosen atau si mahasiswa yang benar, bukan pula memaksakan kehendak EYD versi sang dosen atau si mahasiswa yang paling benar. Aku sarankan sekali lagi, mari kita bertanya kepada ahlinya. Siapa ahlinya dalam urusan EYD? ada tidak sertifikatnya?

Bila ingin paham tentang ilmu Tajwid, bertanya lah pada ahlinya. Bila ingin paham tentang ilmu Ketuhanan, juga harus bertanya kepada ahlinya. Ingat, harus ditanyakan juga bukti keahliannya kecuali bila kita ingin selama-lamanya berkutat dalam pergolakan jiwa dan batin akibat dari kurang mampu menyaring informasi, kurang bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Aku tidak akan membahas lebih lanjut tentang siapa ahli ilmu Ketuhanan di sini sebab hal itu butuh pemahaman yang tidak segampang membalikkan telapak tangan. Aku juga bukan ahlinya untuk membicarakan tentang ilmu Ketuhanan. Sejujurnya, setiap orang berhak memilih karena hanya dirinya lah yang menjalani kehidupannya sendiri, bukan orang lain. 

Bila sudah berbicara tentang siapa ahlinya, memang pelik. Itu sebabnya dibutuhkan bukti tertulis, sertifikat, dan bukti authentic lainnya yang bisa dipercaya, bukan begitu? sekali lagi, bila tidak ada buktinya maka masing-masing dari kita harus dengan lapang dada dan berjiwa besar menerima konsekuensi.

Banyak peristiwa lain yang tidak dapat aku sebutkan satu-persatu di sini. Bagaimanapun, bila sertifikat akan keahlian suatu profesi sudah diberlakukan di zaman ini, di dunia ini, maka semua pihak harus menerima konsekuensinya. Berdiskusi, berargumentasi, Gedankenaustausch zu einem Thema atau berdebat merupakan beberapa dari banyak konsekuensi yang harus kita terima di zaman ini, kecuali bila kita masih ingin berkutat di zaman penjajahan dulu atau bila ingin berlama-lama di dunia diktator.

Aku pikir, itu sebabnya mengapa dalam setiap talkshow dihadirkan nara sumber atau keynote speaker. Dalam setiap paper, artikel tulisan, dan karya-karya ilmiah perlu dicantumkan daftar pustaka. Dalam setiap laporan hasil wawancara perlu dilampirkan profil lengkap orang yang diwawancara. Jadi jelas sumber-sumbernya sehingga tidak terjadi pembodohan. Bahkan dalam suatu talkshow yang sudah dihadirkan nara sumber pun, ahlinya sekali pun, masih terbuka ruang diskusi dan sesi tanya-jawab. Karena apa? karena “tak ada gading yang tak retak”. Semua orang bisa salah, tidak ada yang sempurna. Buktinya, teori Darwin dipermasalahkan banyak kaum saat ini.

Categories: Heaven's Unlimited
  1. No comments yet.
  1. No trackbacks yet.

Leave a comment